SUARAEMPATLAWANG.COM
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) kembali terlihat dungu dengan dagelannya yang mengadili sidang PHPU dipimpin ketua palsu.
Hal tersebut disorot Koordinator GPKD, Al Farisi, dalam keterangannya, Sabtu, 1 Maret 2025.
“PTUN telah memutuskan bahwa pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK batal. Namun, hingga saat ini yang bersangkutan masih tetap menjabat serta mengadili sengketa hasil Pilkada,” katanya.
Ia menegaskan bahwa seluruh putusan MK yang diambil di bawah kepemimpinan Suhartoyo kehilangan legitimasi dan layak disebut ilegal, terutama mengingat dampaknya yang signifikan terhadap demokrasi di tingkat daerah.
“Bagaimana mungkin nasib demokrasi daerah diserahkan kepada instansi yang secara struktural dan fungsional diisi serta dijalankan oleh orang bermasalah?” katanya.
GPKD juga menyoroti putusan MK yang mendiskualifikasi beberapa kandidat karena dianggap telah menjabat selama dua periode. Menurut mereka, hal tersebut seharusnya sudah diatur dengan jelas dalam ketentuan perundang-undangan sejak awal, bukan baru dipersoalkan dalam sengketa hasil Pilkada.
“Kenapa baru dipermasalahkan saat nasi sudah menjadi bubur? Seharusnya ini diselesaikan sebelum tahapan Pilkada berjalan, bukan saat hasil sudah ditetapkan,” tambah Farisi.
Ia juga menilai bahwa MK bersama KPU dan Bawaslu seharusnya lebih proaktif dalam mengantisipasi persoalan yang berpotensi merugikan banyak pihak dalam Pilkada.
Sebelumnya, pada Jumat, 28 Februari 2025, massa yang tergabung dalam GPKD menggelar aksi demonstrasi di Gedung Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk protes terhadap kepemimpinan Suhartoyo dan putusan-putusan MK terkait Pilkada 2024.
“Bukankah periodisasi itu lebih ke soal aturan yang masih samar, dan karenanya memicu perbedaan tafsir di antara stakeholders pilkada,” ucap Farisi. Dia menyebut, MK bersama-sama KPU dan Bawaslu mestinya bersikap proaktif sejak awal dalam mengantisipasi persoalan yang potensial merugikan banyak pihak di Pilkada. Dia menangkap kesan MK seolah ingin mencitrakan diri sebagai satu-satunya lembaga penjaga konstitusi dan pengawal demokrasi.
Padahal, putusan MK justru mengangkangi spirit bernegara hukum serta mencederai nilai demokrasi. “Sejak awal, selama ketuanya masih Suhartoyo, MK tak punya legitimasi serta integritas moral dan hukum memutus perkara Pilkada. Jangan korbankan rakyat di daerah,” pungkasnya.(dikutip dari ektranews.id)