SUARAEMPATLAWANG.COM
Kasus pengadaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) di 147 desa di Kabupaten Empat Lawang terus bergulir, menyeret ratusan kepala desa dan kini menahan seorang Tenaga Ahli (TA) DPRD Kabupaten Empat Lawang. Para kepala desa disebut “dungu” karena secara sukarela membayar puluhan juta rupiah untuk pengadaan APAR yang “dititipkan” oleh oknum TA DPRD bernama Aprizal.
“Kedunguan” para kepala desa ini berbuntut panjang. Sebanyak 147 kepala desa telah diperiksa Jaksa berulang kali, dan pada Kamis (26/06/2025), Aprizal resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Empat Lawang.
Keanehan dalam kasus ini adalah pengadaan APAR dilakukan tanpa persetujuan warga/tanpa musyawarah desa alias by pass, yang seharusnya bisa ditolak tegas oleh kepala desa. Warga berharap para kepala desa ini berani berkata jujur bahwa mereka terpaksa membeli APAR dengan harga tidak masuk akal bukan hanya karena Aprizal, tetapi ada “orang kuat” di balik tekanan tersebut.
Penetapan Aprizal sebagai tersangka didasarkan pada siaran pers Kejari nomor PR-41/L.6.20/Dti.1/06/2025. Dalam siaran pers yang ditandatangani oleh Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Empat Lawang, Niku Senda, S.H., pada hari yang sama, disebutkan bahwa Aprizal diduga kuat telah mengondisikan Dana Desa (DD). Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi kebutuhan dan musyawarah masyarakat desa, justru diarahkan untuk pengadaan APAR yang bukan merupakan prioritas atau permintaan warga.
Sehari sebelum penahanannya, Aprizal terlihat di perkantoran Pemkab Empat Lawang, bersamaan dengan pemeriksaan Sekretaris Daerah Fauzan Khoiri Denin sebagai saksi dalam kasus yang sama.
Aprizal kini dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 12 huruf E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Kasus ini menyoroti lemahnya integritas dan kemandirian kepala desa dalam mengelola dana desa, serta indikasi adanya praktik “proyek titipan” yang merugikan keuangan negara dan masyarakat.