SUARAEMPATLAWANG.COM
Di tengah teriakan “Indonesia Darurat Korupsi”, kita disuguhi pemandangan pilu: para mantan terpidana korupsi bebas mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mereka yang pernah mengkhianati kepercayaan publik, kini kembali beraksi—bukan di balik jeruji, melainkan di panggung politik yang seharusnya suci. Bagaimana mungkin negeri yang getol memberantas korupsi masih memberi ruang bagi para pengkhianat ini untuk memimpin? Ini bukan sekadar paradoks, melainkan tamparan keras bagi rasa keadilan masyarakat.
Korupsi bukanlah pelanggaran biasa. Ia adalah kejahatan luar biasa yang membunuh perlahan. Lantas, ketika pelakunya bebas berkeliaran dan bahkan berpotensi kembali memegang kekuasaan, apa artinya hukuman selama ini? Ini mengirim pesan keliru: korupsi hanyalah “kesalahan administratif” yang bisa dimaafkan.
Demokrasi kita sedang sakit. Sistem yang seharusnya memastikan pemimpin berkualitas dan berintegritas justru menjadi pintu masuk bagi para mantan koruptor. Mereka memanfaatkan celah hukum, jaringan kekuasaan, dan kedok “perubahan” untuk kembali meraih kursi. Ironisnya, rakyat pun terjebak dalam pilihan pragmatis: antara memilih “calon berpengalaman” yang cacat moral atau calon bersih yang tak menjanjikan koneksi instan. Di mana martabat demokrasi jika ruang kekuasaan masih dirampas oleh para penjahatnya?
Pemerintah kerap menyuarakan komitmen memberantas korupsi hingga ke akar. Tapi, membiarkan mantan koruptor maju dalam pilkada adalah bentuk pembiaran yang kontraproduktif. Jika seorang koruptor masih boleh memimpin, lalu apa bedanya kita dengan negara yang mengabadikan budaya “korupsi lalu memimpin, memimpin lalu korupsi”? Regulasi yang membuka peluang ini harus segera direvisi. Larangan menjadi pejabat publik seharusnya menjadi konsekuensi abadi bagi para koruptor, bukan sekadar hukuman penjara yang bersifat sementara.
Masyarakat juga tak boleh diam. Setiap suara yang diberikan kepada mantan koruptor adalah pengkhianatan terhadap perjuangan pemberantasan korupsi. Kita perlu gerakan kolektif untuk menolak politisi bermasalah, mendorong transparansi rekam jejak calon, dan mengawal reformasi sistem hukum yang lebih tegas. Jika hari ini kita mengabaikan prinsip “no tolerance for corruption”, esok kita akan menuai generasi pemimpin yang menganggap korupsi sebagai tradisi wajar.
Negara ini butuh pemulihan kepercayaan. Tak ada ruang bagi pengampunan terhadap koruptor. Keberanian menutup pintu kekuasaan bagi para perusak bangsa adalah bukti nyata komitmen kita terhadap keadilan. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi? Jangan biarkan korupsi tak hanya mengakar, tetapi juga berbuah dan berbunga di tanah demokrasi yang seharusnya subur dengan kejujuran.
*—Mari tegakkan harga diri bangsa: tak ada tahta bagi pengkhianat rakyat.*
(penulis Jhangcik)
Komentar