SUARAEMPATLAWANG.COM
EMPAT LAWANG – Letusan senjata api di permukiman penduduk di kawasan Pendopo, Empat Lawang, Minggu (14/12/2025) bukan karena adanya serangan teroris, bukan pula pengejaran bandar narkoba kelas kakap. Tembakan itu diduga berasal dari oknum anggota Brimob yang “kepanasan” menghadapi warga.
Insiden ini bukan sekadar letupan emosi sesaat. Diduga kuat, aksi “koboi” tersebut adalah upaya intimidasi terhadap warga yang vokal menanyakan hak plasma dan legalitas Hak Guna Usaha (HGU) yang diduga tidak dimiliki oleh PT ELAP/KKST. Ketika dialog dijawab dengan peluru, ada sesuatu yang salah dalam tata kelola keamanan di sektor agraria kita.
Konflik antara warga dan perusahaan perkebunan di wilayah ini ibarat api dalam sekam. Warga hanya menuntut transparansi: mana realisasi kebun plasma untuk masyarakat? Mana dokumen HGU yang sah dari perusahaan? Alih-alih jawaban administratif atau mediasi, yang didapat warga justru tekanan psikologis.
Kehadiran oknum Brimob yang melepaskan tembakan di area permukiman tanpa sebab yang jelas (bukan dalam situasi chaos atau ancaman jiwa) memunculkan pertanyaan besar: Untuk siapa laras senjata itu sebenarnya diarahkan?
Tindakan ini menyiratkan pesan terselubung untuk membungkam warga yang kritis. Ketika aparat negara digunakan untuk menakut-nakuti rakyat yang sedang memperjuangkan hak agrarisnya, maka fungsi perlindungan masyarakat telah tercederai.
Digaji Rakyat, Mengabdi pada Siapa?
Insiden di Pendopo Empat Lawang ini memaksa kita membuka kembali buku anggaran negara. Publik perlu diingatkan kembali mengenai status gaji personel kepolisian, termasuk Brimob.
Brimob bukan karyawan perusahaan. Gaji, tunjangan, hingga peluru yang mereka gunakan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dari mana uang APBN itu?
Pajak Rakyat: Uang keringat masyarakat yang disetor ke negara.
Sumber Daya Alam (SDA): Kekayaan bumi Indonesia.
Ekspor & Penerimaan Negara Lainnya.
Sangat ironis ketika gaji yang dibayarkan dari uang rakyat justru digunakan untuk membiayai aparat yang menodongkan senjata ke arah rakyat itu sendiri demi kepentingan korporasi swasta. Seharusnya, loyalitas aparat tegak lurus kepada negara dan rakyat, bukan kepada pemilik modal.
Secara profesionalisme dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi), menempatkan Brimob di area perkebunan sawit adalah kebijakan yang “salah kamar”.
Brimob adalah pasukan elit Polri. Mereka dilatih untuk penanganan kejahatan berkadar tinggi: terorisme, penjinakan bom, dan kerusuhan massa yang anarkis. Menjadikan mereka penjaga aset perusahaan atau “centeng” perkebunan adalah bentuk degradasi fungsi pasukan khusus.
Mengapa kehadiran Brimob di perkebunan perusahaan tidak ideal?
Potensi Konflik Meningkat: Kehadiran aparat bersenjata lengkap (laras panjang) di tengah petani menciptakan atmosfer perang, bukan dialog. Hal ini sering kali memicu eskalasi konflik dan provokasi.
Kriminalisasi Petani: Dengan dalih pengamanan, petani yang menuntut hak sering kali dianggap sebagai “pengganggu keamanan”, berujung pada penangkapan dan kriminalisasi.
Penyalahgunaan Wewenang: Brimob bertugas menjaga Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), bukan mengamankan neraca keuntungan korporasi.
Legalitas Sprin vs HGU Bodong: Seringkali perusahaan berdalih meminta pengamanan berdasarkan Surat Perintah (Sprin). Namun, menjadi masalah hukum serius jika Sprin tersebut diterbitkan untuk mengamankan wilayah yang HGU-nya sendiri masih sengketa atau bahkan tidak dimiliki oleh perusahaan (seperti dugaan pada kasus PT ELAP/KKST).
Keamanan aset perusahaan swasta, termasuk perkebunan sawit, seharusnya menjadi ranah sipil, yakni Satuan Pengamanan (Satpam), bukan polisi, apalagi pasukan khusus Brimob. Jika terjadi sengketa lahan atau tuntutan plasma, penyelesaiannya harus melalui jalur hukum perdata atau administrasi negara, bukan dengan pendekatan militeristik.
Insiden di Pendopo Empat Lawang harus menjadi alarm bagi petinggi Polri. Evaluasi total terhadap penugasan personel di perusahaan sawit harus dilakukan. Jangan biarkan seragam cokelat yang dibanggakan negara berubah stigma menjadi “pasukan bayaran” korporasi yang menindas rakyat penyumbang gaji mereka sendiri. Rakyat butuh pelindung, bukan penembak di permukiman sendiri.
