SUARAEMPATLAWANG.COM
Lahat, Sumatera Selatan – Buntut panjang dari belum diterimanya dana ganti rugi atas lahan yang akan digarap dan di klaim oleh perusahaan PT Bukit Asam seluas 48 hektar menuai kontroversi oleh masyarakat Desa Merapi, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Awal mulanya tanah yang diakui oleh warga serta Pemda Lahat seluas 69 hektar, namun, hanya diakui 48 hektar, dan keberadaan tanah itu merupakan tempat mata pencaharian warga.
Namun seiring berjalannya waktu, kini lahan itu di produksi oleh PTBA perusahaan BUMN. Bahkan aktifitas alat berat seperti Excavator, Dump Truk HD beroperasi mengangkut material-material tanah maupun batubara.
Sementara warga yang melakukan tanam tumbuh mengaku rugi, sebab kini tak lagi bisa menggarap kebun yang mayoritas kopi, sawit, jeruk, karet, pisang dan lainnya. Menurut masyarakat status tanah itu merupakan tanah ulayat bersama atau tanah adat. Namun tiba-tiba di klaim oleh desa, bahwa tanah tersebut merupakan aset desa.
“Asal usul aset desa itu dari mana, coba tunjukkan buktinya apakah hibah, jual belinya atau rampok,” kata H Hudiman salah satu pemilik lahan di lokasi.
Sebelumnya telah dilakukan pembentukkan 15 orang Tim Negosiasi pembebasan lahan pada tahun 2021 lalu, dan sekarang 14 tim karena di SK Pjs Kades. Namun warga tak terima pembebasan tanah yang sesuai. Sebab mereka telah melakukan tanam tumbuh.
“Karena kekuasan otoriter dan arogan, semena-mena terhadap masyarakat. Dan diduga ada mafia pertanahan dari oknum, jual belinya tak sesuai aturan, bahkan tim tersebut cacat hukum karena di SK-kan Pjs Kades,” kata Hudiman.
Menurut H Hudiman, harga yang ditetapkan untuk pembebasan lahan dipangkas dengan harga yang tak sesuai, karena warga sudah bertahun- tahun melakukan tanam tumbuh. Kini warga tak bisa lagi ke kebun bahkan tak lagi bisa menikmati hasil kebun. “Kami menuntut jika pun dibebaskan harus dengan layak, jangan rugikan masyarakat,” katanya.
Dikatakannya, ganti rugi tanam tumbuh tak sesuai kesepakatan bahkan dipaksakan Rp 200 ribu per batang. Apalagi umur tanam tumbuh sudah berumur 10 tahun. Masyarakat mengaku tidak menerima hal tersebut, bahkan ada umur kebun warga dibawah umur 7 tahun hanya dibayar Rp 1 juta, termasuk pagar pondok di kebun.
“Harusnya sesuaikan dengan Peraturan Gubernur (Pergub), dan karena tidak ada punya lahan lagi, maka kami minta direlokasi untuk berkebun dan pembayaran Rp 200 ribu harus ditambah supaya masyarakat bisa buka kebun kembali,” terangnya.
Terpisah, Advokat Rakyat, Joko Bagus, Herman Hamzah dan Pasten Hard serta Alqomar mengatakan, di lahan kebun klain-nya saat ini yang dikelola H Hudiman, Aswadi, dan Barudin mau di eksplorasi oleh perusahaan tambang batubara dan belum ada ganti rugi. Mereka siap mengiklaskan kebun di garap, tetapi ganti rugi tanam tumbuh harus sesuai aturan yang ada yakni Pergub nomor 40 tahun 2017.
“Mau ke kebun saja susah, seakan mau dibuat pulau saja. Sekarang kedalaman sudah 30 meter dibuat tambang. Akses ke kebun pun sudah susah, apalagi masyarakat kecil pun sudah susah untuk mencari nafkah dari berkebun,” katanya.
Ditambahkan Herman, meminta kepada PTBA jangan tutup mata, sebab uang negara yang dilontarkan banyak. Dan sangat terkesan di permainkan dan kuat dugaan disunat pemberian nya kepada masyarakat. Terkhusus H Hudiman, Aswadi dan Barudin yang menolak uang pergantian tersebut dikarenakan tidak sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2017.
“Jikalau tidak ada respon secara kongkrit dari pihak PT.BA maupun pihak – pihak yang terkait maka kami akan membawa permasalahan ini ke KPK di Jakarta. Dan kami bersama masyarakat yang dirugikan akan langsung melaporkan permasalahan ini ke Bapak Firli Bahuri ketua KPK RI, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kementerian BUMN dan Kementerian Pertanahan,” tegasnya.
Terpisah, Managemen PTBA, Hendri Muyono mengaku mengatahui lokasi lahan yang diproduksi oleh perusahaan di Desa Merapi. Namun dirinya enggan memberikan komentar lebih lanjut. “Saya sedang sakit sudah seminggu, langsung sama humas saja ya,” katanya via seluler.
Dilain tempat, Kepala Kejaksaan Negeri Lahat Nilawati SH MH melalui Kasi Datun, Oktriadi SH MH mengatakan, bahwa ada dari perusahaan PTBA melakukan MoU dengan Kejari, namun dirinya mengaku tidak ada pembahasan pendampingan. “Tidak ada, cuman MoU, tak ada bahasan soal itu,” ujarnya.
Komentar